<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7024780\x26blogName\x3dCinta+-+Puisi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://cintaku-puisi.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://cintaku-puisi.blogspot.com/\x26vt\x3d6980431717925708654', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

Puisi-Puisi untuk Atjeh ( 2 ) | Monday


Tsunami........
Eka Agustina

Entah dimana nyawa berdiam duka
entah dimana aura ringkih meraja
entah dimana belahan jiwa menutup mata
Ku rindu....
Kasih bunda di tiap angka-angkaNya
Sejak bumi guncang kelopak mata
Hingga simbah airpun meronta
Pergi....
Pergilah jiwa dengan ikhlas dalam dada
di pelukan bunda
di gendongan tikar berbalut kafan bersama
belahan bumi dan semerbah jeumpa mewangi

tuk: Aceh ku

Semoga B'Dien, B' Bukri, Ramaniah, Cupo dan selruh keluarga di Sigli SELAMAT dari gempa yang buat duka di MAMA dan kami semua. Amiin....


kenapa baru menulis tentang aceh sekarang?
oleh Djenar


sepanjang indonesia merdeka, siapa yang paling merasa terjajah?
sepakat, acehlah dia
sepanjang indonesia merdeka, siapakah yang paling merasa di tipu
sepakat, acehlah itu
sepanjang indonesia merdeka, siapakah yang paling merasa di curangi?
sepakat, acehlah ini
lantas, setelah DOM, DM1-2 dan DS 1-2 dst
tsunami menenggelamkan sebagian penduduk aceh yang dari tahun ketahun berkurang populasinya.
setelah beramai-ramai rakyat aceh dikirim ke ladang-ladang pembantaian
setelah berbondong-bondong rakyat aceh pergi menuju pengungsian
kini berjamaah rakyat aceh di sholat ghaibkan
sepanjang indonesia merdeka, siap yang paling sengsara?
bahkan alam hari ini sudah tak bersahabat dengan aceh
siapa percaya?
lahir di aceh adalah sebuah musibah!
lahir di aceh adalah sebuah kutukan!
tapi rakyat aceh bangga besar dan mati disana
allahuakbar
demi tuhan rakyat aceh sudah terbiasa dengan ujian.
udep sare!
mate syahid!
saleum

*****

KABAR DARI TANAHMU
oleh den mas marto

tibatiba aku ingin menulis tentang atjeh
kupukupu yang membawa masasilam beranjak dari jendela kamarku sore tadi
bersamasama kunangkunang dan kukukuku orang yang meninggal pagi tadi
perang masih memerah di ladangladang ganja
angin bercerita kepada batubatuan, sampai kapan ia akan terus bertiup
di atas kelopakkelopak sejarah yang lelah
ingin aku berbisik kepada tjoet nja'
kelopakkelopak sejarah yang senyap, tak pernah dibaca mengerang malammalam dalam mimpimimpi kita mengerangerang seperti darah, ingatlah!
langit masih berkesiur
menggiring gugus bintangbiduk ke relung kubahnya ke sebuah lubanghitam
memamahmamah memori kita
memori yang juga berdarahdarah, o tanah!
kupukupu yang membawa asap sumurminyak beranjak dari jendela kamarku sore
tadi
mereka hendak mengadu kepada matahari

Yogya, 2004

*****


Tangisku (Indonesia Berkabung)
oleh mahameru

dedicated to Indonesia.

Tahu kah kalian ?
semua yang telah terjadi takkan kembali
penyesalan hanya tinggal penyesalan
sebab tiada akan seperti yang lalu
Coba kalian pikir
wahai anak-anakku..Aku telah lelah dengan semua kepalsuan yang kalian ciptakan
muakku sudah membengkak diperut ini
dan aku ingin membuncahkannya keluar
kesombongan yang kalian rajut pada untaian kata-kata palsu
tiada peduli akan nasib saudara
membuatku jenuh Aku rindu kedamaian
Aku rindu ketentraman
Bukan pertikaian atau caci maki antara kaya dan miskin
sebab kalian anak-anakku

*****

TSUNAMI 2004
oleh Rudi Suryadi

Di u***** Barat bangsaku
Air itu meluap begitu cepatnya
Menyapu semua rintangan yang dia mau
Melahap segala mahluk tanpa bicara
Sekejap saja ribuan orang kembali papa
Sedetik saja ribuan orang kembali pada-Nya
Semudah saja hilang segala singgasana
Tapi....mengapa aku diam saja
Aku di sini masih bisa tertawa
Aku di sini masih dapat bercanda dan menyanyi
lagu cinta
Sepertinya aku tidak merasa
Mentang-mentang di sini aman-aman saja
Padahal..........pada hari itu 14.000 nyawa telah melayang
Tuhan telah berkuasa dengan tangan-Nya
Begitu mudahnya Dia berkehendak
Dan pasti begitu mudah pula bagi-Nya memindahkan bencana ketempatku
Tuhan....aku jadi teringat pesan pesuruh-Mu
Aku jadi teringat dengan waktu sehatku sebelum
sakitku
Dengan hidupku sebelum matiku
Dengan mudaku sebelum tuaku
Terima kasih Tuhan
Engkau telah memukul punggungku untuk mengingatMu
Tapi mengapa begitu banyak korban untuk menegur kami
Semoga mereka tidak sia-sia
Aku hanya bisa menangis dalam hati

Plaza Kuningan Jakarta 14:21 27 Dec 2004

*****

*************************
Created at 10:16 AM
*************************

Nyeri Aceh | Wednesday


Nyeri Aceh
Fikar W W Eda

Tanah Aceh, nyeri kami
nyeri daging dan tulang kami
nyeri darah dan tangis kami
nyeri gigil, nyeri perih
nyeri kami, inilah nyeri kami.

nyeri laut menggulung pantai
lumatlah rumah,
remuklah pohon
dan tubuh kami, tubuh kami
bercecer dihimpitan pohon itu
hanyut bersama papan berlumut
mengapung di jembatan roboh
nyelinap di selokan
terdampar di trotoar basah
tersangkut pada ranting-ranting beku

Tanah Serambi Mekkah, nyeri kami
nyeri daging dan tulang kami
nyeri darah dan tangis kami
nyeri gigil
nyeri perih
nyeri kami
inilah nyeri kami

bocah bocah polos
berlari di pasir.
menangkapi ikan-ikan terdampar
ketika laut surut

tapi tiba-tiba
gemuruh menerbangkan pasir
langit gelap
ombak membentuk lipatan
menerjang dari arah belakang
tubuh rapuh tersentak ke depan
membentur beton-beton
terdorong ribuan meter
bocah bocah itu
bagai kapas terlilit gulungan laut
terdampar di tanah datar
menghapus jejak-jejak di pasir
lenyaplah tawa
raiblah canda

Nestapa Aceh dalam nyeri dan perih kami
jangan kalian cari lagi Meulaboh
jangan kalian tanya di mana Banda Aceh
dimana Calang, Teunom, Lamno, Lhokseumawe,
Bireuen, Sigli
peta-peta telah koyak
terlipat dalam gulungan laut

Ya Allah
rebahkanlah mereka
bocah-bocah itu,
orang-orang tua itu
laki-laki dan perempuan itu
di atas permadani-Mu yang harum
tempatkanlah mereka pada
sisi-Mu yang maha mulia

dan kepada kami, ya Allah
berilah kekuatan
menanggungkan perih ini
menjadikannya cermin
tempat kami memungut hikmah.

*****

Doa Seorang Serdadu usai Tsunami
Dino F. Umahuk

Tuhan
Mengapa air bah itu kau timpakan kepada kami
Padahal di sini tak ada Nuh
Mengapa murka kau timpakan kepada kami
Padahal kami sedang terlena dalam dosa
Padahal kami sedang asyik menindas saudara-saudara kami
Dan tak satupun perahu yang Kau suruh kami buat
Selain beratus-ratus tank, dan truk
Juga berjenis-jenis senapan yang kami siagakan siang-malam
Sambil mengutil separuh dananya buat ongkos belanja dan jalan-jalan
Anak isteri ke luar negeri

Ya Tuhan
Mengapa duka itu kau tiupkan kepada kami
Tanpa mengutus seorangpun agen untuk memberitahu kami
Agar kami waspada dan tak binasa
Padahal intelijen kami sebegitu banyaknya
Padahal kami sungguh-sungguh sangat canggih memproduksi isu
Bagi keselamatan nyawa-nyawa yang tak mau bayar upeti
Atau membersihkan pos ronda

Tuhan
Aku rasa kau sedang bercanda saja
Atau sengaja memperingan tugas kami dengan tsunami itu
Agar kami tak capek - capek menggelar operasi
Pun membuka peluang bagi hegemoni kami atas negeri ini
Dengan belanja dan akses militer yang lebih kukuh
Menggerogoti tulang dan darah rakyat sendiri

Ya Tuhan
Selamatkanlah kami para serdadu ini dari murka-Mu
Dan biarkan kami mencuri sedikit kuasaMu
Untuk membinasakan anak negeri
Juga mereka yang tengah menderita di Aceh

*****

TSUNAMI
-Yudhistira ANM Massardi-

Ya Allah, ampuni kami ...!
Azab-Mu begitu dahsyat dan nyata
Tetapi kami begitu angkuh dan sombong
Kami ingkari dan dustakan Kamu
Kami zalimi kaum dan agama kami
Kami berhalakan harta dan kekuasaan kami
Kami sekutukan Kamu dengan semua nafsu

Sudah keterlaluan kemungkaran kami
Kami hinakan ruh dan seluruh ciptaan-Mu
Dengan kemunafikan dan maksiat tiada terperi
Korupsi, pestapora, mabuk, madat
Kemiskinan, kebodohan, dan pertumpahan darah
Penjarahan dan kerusakan dimuka bumi

Kami sungguh bangsa durjana
Membuta, membisu, dan tuli pada tanda-tanda
Kami abaikan semua peringatan
Kami tenggelamkan diri dalam bencana
Kami asyik dalam permainan mematikan
Kami alihkan kiblat ke api Neraka

Ya Allah, ampuni kami ...!

Azab-Mu begitu dahsyat dan nyata
Terjadi dalam sekejap dan lantak
Kami bilang ini ujian untuk berhikmah
Tetapi hanya sekelebat, lalu lenyap
Kami tak pernah bersungguh-sungguh
Bahkan untuk bersyukur dan bersujud pada-Mu
Sajadah kami tak pernah basah
Oleh sisa wudu dan airmata
Meskipun Engkau di urat leher
Kami selalu menjauhi Kamu
Seperti orang-orang sebelum kami
Sungguh kami dalam kesesatan yang nyata

Ya Allah, ampuni kami ...!

*****

*************************
Created at 1:48 AM
*************************

Sebuah Tanya Untuk Aceh | Tuesday


Sebuah Tanya untuk Aceh
Puisi: Tsi Taura

Lewat layar-layar kaca kita saksikan
gelombang tsunami
Mengejar anak-anak manusia
Menerjang, menghempas ganas siapa saja
tak pandang usia atau jabatan
Mayat-mayat pun bergelimpangan di jalan-jalan
Berselimut koran-koran bekas
Plastik-plastik cabik dan ada pula terbujur kaku
Mengenaskan tanpa sehelai daun pun
Gempa dan gelombang tsunami
di bumi Serambi Mekah
Menyisakan ketidakmampuan melukiskan
kata-kata kepiluan, kesedihan, keperihan
emosi dan empati
Kita seakan kehilangan tinta untuk menulis
kehilangan air mata untuk menangis
yang tersisa adalah suci perenungan
kita tak berhak menggugatNya

Tuhan, murkakah kau pada kami?
ah, tak usahlah kita bertanya panjang
lehiatlah betapa hati kita sendiri
ingin begitu jujur menjawabnya...

*****


Denang Seratus Ribu Kunang-kunang (sebuah catatan belum selesai)
Puisi: Hoesnizar Hood

Denang oi,
Jangan sebut namanya
Aku tak mau dengar namanya
Karena sekalipun tidak dimimpipun enggan
Aku tak tau engkaupun tidak
Jauh dari seribu bayangan
Tapi tiba-tiba dia datang

Dan terbanglah seratus ribu kunang-kunang
Menjadi cahaya disatu pagi tak berwarna

Denang oi,
ciumlah saja kening kekasihmu dalam zikir terakhir
ucapkan sekuat badai batin doa mu mengalir

Kenapa harus ombak tempat kita berdendang
Kenapa harus laut tempat kita menari
Kenapa harus sunyi tempat kita menyesal
Kenapa harus diam tempat kita berdoa
Dan kayu, tiang batu, lumpur pepohonan sembilu
Pisau gelombang tak tertangkis
Kenapa harus Aceh tempat kita menangis

Denang oi,
Teka-teki tuhan jangan kau jawab
Jangan kau lukis sketsa wajah dukamu
Aku tau hatimu punah seperti punah kaca
Remuk selaman musim percintaan kita
Hanyut tanpa muara
Patah ditebing tak berdinding
Tenggelam dipuncak punca

Denang oi,
Jangan sebut namanya
Aku tak tau namanya
Tak hendak karena siapa dia
Tak tau karena tak ingin tau
Merah hitamkah atau biru
Seperti biru bibirku menyebut namamu

Pangillah tangis kalaupun masih dapat kita
timba airmata
Siat-lah pedih kalaupun dapat kita selam
sedepa luka
Pujuklah maut kalaupun mati dapat kau
lihat bentuknya

Denang oi,
Dan terbanglah seratus ribu kunang-kunang
Menjadi cahaya disatu pagi tak berwarna

Pujuk sekerat zikirmu jadi pualam
Telan bayang-bayang hitam yang tenggelam
Bersama harapan sezaman

Seratus ribu kunang-kunang pergi
Adalah harapan yang kita titipkan
membawa doa masa depan
Menuju matahari ke sebuah negeri abadi,

Denang oi,
Seratus tahun kenangan tergenang
Seratus senandung mendung
Seratus ratap senyap

Tapi satu cinta ku akan segera datang
berlabuh diserambi hatimu yang bimbang

*****

Atjeh di Penghujung Kata (Tsunami 2004)
Puisi: Iman Arifandi


Lahir aku di bumimu Ibu
Lahir aku pada puisi membisu
Bisu pada tanah yang tak ramah
Bisu pada laut yang kalut
Apakah aku harus berpegang
Pada ganggang berhulu pedang
Coba hadang maut
yang membentang
Sedang aku tahu

Aku hanya punya puisi
Dikala aku membendung amarah
dan cobaan Illahi
Coba tangkap sepah
Yang mengalirkan darah
Membujurkan ribuan jasad di tanah
Dan memuingkan kokohnya titah
Pada maut...
Pada maut aku kalungkan resah
Resah pada alam yang merekah marah
Membelah tuah menghanyutkan kisah

Atjeh di penghujung kata...
Ribuan masa, laut memberi arti
Menyimpan janji untuk anak negeri
Kini laut memungkiri
Dengan mengirimkan ribuan peti mati
Dan mengoyak luka Ibu Pertiwi
Adalah masa kemasa berkelana
dengan lautan mesiu
Kini harus menanggung seru
dalam lautan pilu
Adakah setitik cobaan darimu
Ya Rabby

Atjeh di penghujung kata...
Beri aku kias sejarahmu
Aku tak mau seribu tengku membatu
Dalam pigura rencong
negeri berpenghulu
Terlalu banyak yang kau beri
wahai tanah serambi
Dari kisah antah berantah
sampai rencong yang berdarah
Sampai aku pada malu
Hanya puisi pengantar setitik rasa
Sedangkan malang tak terbilang
Pada tanah yang hampir hilang

Atjeh di penghujung kata...
Seribu Tsunami mengukir lembah
Membelah resah
Diantara sengketa tanah yang tak sudah
Kala barisan maut meniti bumi Pertiwi
Menghadang setiap jengkal
yang menghela masa
Sudahkah aku berkata?
Aku tak tahu adakah sekarat
di ujung barisan nikmat
Lelah aku untuk mengatur langkah
Sampai aku pada malu
Malu aku pada marah
Malu aku pada serapah
Malu pada keluh kesah
Sedang aku hanya merangkai kata
dalam lautan puisi

Seribu puisi mampu aku beri
Seribu kata mampu aku meraja
Seribu rencong
mampu aku gendong
Tapi aku hanya ada sepah
Adakah aku di ujung resah?

Atjeh di penghujung kata...
Diam aku tak bersuara
Habis baris untuk aku merangkai
Peluhpun aku tak punya
Kuburkan aku bersama puing-puing
anak negeri
Ingin aku meraba
Dalam gelapnya asa
Merangkai langkah dalam titah
Tapi aku hanya sepenggal mimpi
Buat aku hadirkan siang yang telah mati

Atjeh dalam barisan doa...
Beri aku selangkah masa
Buat aku melihat dalam rasa
Biar kata tak lagi bermakna
Biar jiwa tak lagi beraga
Biar napas tak lagi mengulas
Atjeh dalam kata...
Tujuh rencong telah aku siapkan
Tujuh petala bumi pengambil tuah
Buat aku tengadah
Ya...Rabby...
Atjeh...
Aku hanya ada sepenggal puisi...

Dabo Singkep,30-12-04

*****

*************************
Created at 2:57 PM
*************************

Kupu Kecil Itu...
Rieke Diah Pitaloka

Kupu kecil,
pergilah, selagi rencong dan bedil jadi karat disimbah garam
pergi ke bunga yang lebih indah

yang tak mampu kutanam
laut,basuh kakinya!
mutiara, elus tubuhnya!
pergi ke taman yang lebih indah
yang tak sanggup kuanyam
angin, bombing kepaknya!
ombak, tuntun langkahnya!
Kupu kecil,biar kami di sini, jahit puing sisa puting beliung
biar kami di sini, sulam tilam sisa amuk dendam
Kupu kecil,saat sayapmu jadi rentang cahaya
hentakkan buat kami....
sejuta seudati!!!

Depok, 020105

*****

NOTE 3

benih yang kau semai dalam rahimku
Telah pergi bersama perahu nuh
Masihkah akan kau sembelih ismail ismail yang tersisa?
Bila kau enggan besarkan mereka,
Biar, biarkan bumi yang merawat
Karena langit tak suka tangis menyayat

2 Januari 2005

*****

..Di Beranda Baiturrahman

Berhari kupikir apa yang harus kutulis tentang kalian
Yang pergi saat langit cerah dan awan putih bersih
Penaku telah kosong dicabut bandang yang menjemput
Kataka jadi bisu melihat maut yang tak lekas surut
Seorang bocah tepekur di beranda Baiturrahman
Ke mana ia mengadu
sedang ibu hanya tinggalkan kain koyak
Ke mana ia berlindung
sedang bapak hanya tanggalkan kopiah lusuh
Air mata kering sendiri, tapi duka tak jua pergi
laut tak lagi pasang, namun buihnya terus bersarang
menebar sekarat di dusun-dusun
sepanjang Banda, Tapaktuan, dan calang
menabur ajal di pesisir-pesisir
sepanjang Singkil, Sigli, dan Bireun
Berhari kupikir apa yang kutulis tentang kalian
Yang pergi saat langit cerah dan awan putih bersih
Mata bocah di beranda Baiturrahman
Menggurat sejumput doa
Inalillahi wa ina ilaihi rojiun
Inalillahi wa ina ilaihi rojiun
Tak ada lagi yang mampu kutulis tentang kalian
Yang tersisa dari pagi yang runtuh

*****

Meulaboh

Meulaboh, Meulaboh....
Ke mana dukaku harus berlabuh sedang laut tak lagi punya dermaga
tepinya berakhir di pagi yang runtuh
Meulaboh, Meulaboh....
Ke mana tangis harus berlabuh
sedang perahuku tinggal separuh
diterjang ombak penuh gemuruh
Meulaboh, Meulaboh...
Ke mana pedihku harus berlabuh
sedang tubuh penuh peluh
jiwa lelah nyawa lumpuh
Meulaboh, Meulaboh
Izinkan doaku berlabuh
buat mereka yang tak lagi mengecap subuh

*****

*************************
Created at 2:38 PM
*************************

Monumen Air Itu, Inong
Puisi: Ikranagara

Bukankah yang kaukabarkan tentang pantaimu, Inong

itulah sosok monumen air
monumen maut lautan

Kali ini, Inong, monumen air
telah mewujudkan dirinya sendiri
setelah terlelap selama hampir duaratus tahun
di dasar lautan
di depan pantaimu

Kali ini, Inong, berapa ribu nyawa
berapa ribu rumah berapa ribu jalan
berapa ribu segala sesuatunya di ranahmu, Inong,
luluh lantak diterjang bahana tarian mautnya

Maka aku pun bisa merasakan rasa bersyukurmu itu,
Inong
karena nyawamu terhindar dari terjangan maut

"Untuk kesekian kalinya, Bang," ujarmu
dari alamat sementara
di tenda darurat para pengungsi. Maka aku pun
bisa membayangkan kembali perjalanan sejarah hidupmu
yang didera bencana demi bencana sepanjang sejarah negerimu
menyebabkan engkau jadi sosok yang babak belur
sekarang pun engkau kembali dirawat
di tenda pengungsi, "Untuk ke sekian kalinya, Bang."

Semua itu aku catat, Inong, karena aku tak bisa lain.
Bencana yang menimpa manusia wajahnya berbagai rupa
ada yang bukan buatan manusia ada pula yang buah rancangan fikiran kejam manusia.
Semua harus kucatat lalu kujalinkan
dengan desah nafaskuakhirnya jadi suara dan kesaksian

Kemarin aku mencatat tentang aura airmata
dan darah yang membasahi lantai rumah-rumah pintu tertutup
di desa janda, di kelengangan rumput ilalang
di bukit tengkorak, di sela-sela semak belukar
di bawah naungan kebun kopi,
di bawah bayang-bayang asap pabrik
minyak bumi dan gas alam
warisanmu yang bukan menjadi milikmu

Kali ini aku mencatat tentang air
Manakala air telah menjulang tinggi, Inong
sosok raksasa kelabu itu derunya dahsyat menerjang
tak terkendalikan lagi bergemuruh ke tujuh penjuru badai

Monumen maut lautan itu, Inong,
dengan berjenggerkan buih putih di ubun-ubunnya
air telah membahana dalam deru tarian mautnya
lebih maut dari pesawat jet pembom buatan negara kaya
lebih maut dari peluru kendali buatan negara kuat
lebih maut dari tank buatan negara industri modern
lebih maut dari pasukan bersenjata mana pun
yang pernah menerjang tanahmu

"Untuk kesekian kalinya, Bang," pastilah begitu ujarmu

Ya, untuk kesekian kalinya, Inong,
kali ini bumimu bersimbah darah dan airmata
dan mayat-mayat berkaparan
"Bukan hanya yang pria dewasa saja, Bang," ujarmu
"Berkaparan di sela-sela puing reruntuhan yang berserakan di mana-mana
Jumlah janda dan duda bertambah
yang kehilangan alamat ditampung di tenda-tenda para pengungsi
Dan anak-anak kehilangan orang tua
sekolah dan tempat bermain."
Dan, engkau, Inong, juga kehilangan

Duh, kami yang di kejauhan ini, Inong
terpukau oleh ketegaranmu jiwamu
betapa kukuhnya pribadimu
menanggungkan derita demi derita berdatangan
yang mencengkeram urat lehermu selama ini sampai hari ini
saat engkau sedang menunggu sembuhnya kakimu yang kiri
setelah diamputasi agar nyawamu terselamatkan di Abad ke-21 ini

"Untuk ke sekian kalinya, Bang
setelah kaki Inong yang kanan diamputasi
juga untuk menyelamatkan nyawa Inong
di Abad ke-20 yang lalu."

Bethesda, Januari 2005

*****

*************************
Created at 2:00 PM
*************************

TSUNAMI JANGAN MENGAMUK LAGI
Amir Ramdhani

Tsunami jangan mengamuk lagi
betapa banyak saudara kami
dijemput maut dan menangis bertubi-tubi
dan kami tak kuasa menyaksikan
mayat-mayat bertebaran di jalan-jalan
roh mereka melayang entah ke mana
rumah-rumah bertumbangan
oleh lautan yang membuncah ke daratan
O, apa nasib keluarga mereka
O, apa nasib bayi-bayi suci tak berdosa
bencana itu begitu menyeramkan
menampar ibu pertiwi kami tercinta

Ibu pertiwiku,
berton-ton penderitaan di pundakmu
yang semakin bungkuk
Beban-bebanmu semakin menumpuk
Ibu pertiwi, bersabarlah ibu pertiwiku

Wahai Allah yang Maha Abadi,
jangan lagi Kau tampakkan tsunami
yang mungkin masih ada yang sembunyi
dalam kandungan perut bumi

Januari, 2005

*****
TSUNAMI IN MEMORIAM

Teringat kembali petaka tsunami itu
mengobrak-abrik Aceh dan Sumut
Berkali mengganggu tidur lelap malamku
mukaku mendadak pucat membayangkan itu
Bagaimana jika itu bencana
terjadi di Ibukota Jakarta?

Bencana total, derita nasional
lebih parah dari bencana korupsi dan kriminal
maka jangan kalian bersikap individual
berikan bantuan materi maupun moral

Ketika kita asyik tidur nyenyak
di kasur busa yang empuk,
mereka tidur berjejal di tikar kasar atau karpet
dalam kemah-kemah pengungsian darurat

Ketika kita lahap menyantap paha ayam,
mereka berebut jatah makan

Ketika kita sibuk beli baju baru buat dandan,
mereka berebut pakaian bekas para dermawan

Ketika kita berbangga memencet Handphone,
mereka kesakitan memencet memar luka
di sekujur badan

Dan ketika kita riang bernyanyi ria,
mereka muram dalam ratap tangis duka

Ah, tak usahlah kita sibuk berdebat
tsunami itu ujian atau laknat
tetapi marilah kita tobat
membersihkan dosa-dosa yang berkarat
sebab hidup ini menyeramkan;
selalu saja dalam kebahagiaan
bersembunyi potensi penderitaan
yang mengintai kehidupan

januari, 2005

*****
SAJAK TSUNAMI ACEH
Widayanti


Dalam do'a kuukir nisan-nisan
Kembalilah ke taman indah
Berhiaskan berjuta bunga
Berteman seribu bintang
Berbekal seribu ayat yang kau lakoni selama di alam fana ini
Termaafkan segala hilap
Ini lah asa dan doa kami untukmu para syahidan.


Tak sampai 5 hari lagi angka berganti 2005
Seiring semburat keemasan diufuk timur pertanda hari kan mulai
Kau pun berteriak...Allahu Akbar...Allah Maha Besar
Menangis ...menjerit...mengerang
Menghindar murka tsunami
Tapi apalah daya manusia...

Jiwamu pun lebur bersama air bah dan lelumpuran
150.000 lebih jiwa melayang
Bibirku kering tak sanggup tuk mengeja nama-nama mu.
Hatiku pilu...

Nisan tak sanggup menampung jumlahmu
Maka onggokan jiwa pun menyatu dalam satu kubur
Gelap gulita...

Kau berteriak dalam bunyi yang terdiam.

Jiwa yang tersisa kini mengais tanah dan reruntuhan
Mencari belahan jiwa dengan penuh harap
Meski akhirnya menjerit pilu terhadap kenyataan
Yang lainnya...

Mengisut-isut badannya
Tuk mencari sesuap nasi
Mencari selembar kain penutup aurat
Yang lainnya
Bisu berdiam diri
Matanya merawang tanpa tujuan
Yang lainnya...

Yang lainnya...
Ah rasanya kata-kata kini enggan berteman denganku
Atau mereka sedang ikut berduka juga?


Kau tulis pesan dengan tinta darah dan tangisan
Pada reruntuhan bangunan dan tanah merah
Siapkan diri tuk menghadap-Nya
Ajal kan menjemput tanpa berbincang terlebih dahulu
Agar syahid dan kemenangan sebagai hasil.
Kau ukir makna pada air yang menepi.
Tuk membuka mata hati.

Sendai, Jan 2005


*****

*************************
Created at 1:04 PM
*************************

BENCANA

kepada korban tsunami
oleh
: Rita Achdris


dari selatan ke tenggara
air mata meluap
ribuan nyawa menguap
tertunduk kuseru Engkau
(kenapa kami tak juga pintar membaca isyaratMu?)


kalibata, 27 des '04

*****
TSUNAMI
Mega Vristian

air menderu berputar membumbung tinggi
hendak menjilat langit,tak terjangkau
jatuh menyeret alam sekitar
hancur dermaga
tumbang ribuan nyiur
apalagi manusia ?
jerit pilu
erangan maut
terendam dalam lumpur kematian
negerimu
negeriku
berduka
Tuhan ada berkuasa
kita lemah tak berdaya


(Hongkong,27 Desember'2004)

*****

TSUNAMI

Rita Achdris


ketika musa membelah laut
adakah kami pengikut fir'aun?


kalibata, 28 des '04

*****

TSUNAMI
Sudaryono Achmad


Sekejap saja
manusia-manusia
tak tahu harus kemana
begitulah
satu pertanda
tentang kuasaNya
Adakah yang bisa menandinginya...


Purwokerto, 27 Desember 2004

*****
TSUNAMI
Yessie

Bertanyalah aku kepada samudera
Apa yang terjadi sehingga kau tega menghempas
rumah saudara kami
Tak ada jawaban..
Dia hanya mengirimkan gelombang yang menderu
Bertanyalah aku kepada tanah tempat berpijak
Mengapa kau berguncang dan menggoyahkan rumah saudara kami
Tak ada jawaban.
Hanya hening disela isak dan jerit tangis yang terdengar
Bertanyalah aku kepada sang angin
Tapi dia hanya diam dan berhembus perlahan
melewati wajah muramku
Bertanyalah aku kepada malam
Mengapa kau datang
Taukan kau saudara kami sedang kegelapan
Dan terendam dalam genangan air yang dingin
Dia pun diam tak memberi jawaban
Lalu bertanya jualah aku kepada langit
Apa yang sedang terjadi
Tapi dia sembunyi dibalik awan hitam
Merataplah aku
Menangis
Bintang tak perduli
Dia tetap berkerlap-kerlip di langit malam
Purnama juga tetap tersenyum
Hanya bumi yang menangis bersama kami.
Di ujung isakku datanglah sang angin
Kalian harus sabar
Dan semakin dekatlah kepada Tuhan
Tebarkan kasih dan damai di seluruh bumi
Masih ada waktu..
Akupun terlelap..dalam isakku
Ditemani angin yang berbisik
NegeriSunyi


27122004

*****
TSUNAMI
Eka Agustina


Entah dimana nyawa berdiam duka
entah dimana aura ringkih meraja
entah dimana belahan jiwa menutup mata
Ku rindu....
Kasih bunda di tiap angka-angkaNya
Sejak bumi guncang kelopak mata
Hingga simbah airpun meronta
Pergi....
Pergilah jiwa dengan ikhlas dalam dada
di pelukan bunda
di gendongan tikar berbalut kafan bersama
belahan bumi dan semerbah jeumpa mewangi
tuk: Aceh ku Semoga B'Dien, B' Bukri, Ramaniah, Cupo dan selruh keluarga di Sigli SELAMAT dari gempa yang buat duka di MAMA dan kami semua. Amiin....


*****

*************************
Created at 1:02 PM
*************************

Hartono Beny Hidayat

Sapuan Kasih Ilahi

Ya Allah, terhapus sudah jejak kaki dan senda gurau anak-anak kami ditepian pantai itu,
segalanya yang kami miliki dan kami banggakan tlah hilang tersapu oleh takdirMu,
Kini tinggallah puing dan ratapan tangis kami menggenangi negeri,

Ya Allah,Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Dari tanda-tanda kekuasaanMu,
Cucilah dosa-dosa kami dengan cucuran airmata kami sendiri,
dari reruntuhan ini, bangunlah rumah dan taman terindah disurga,
Untuk mereka-mereka yang belum mengenal dosa,yaitu bayi-bayi dan anak-anak kami

Dari tanda-tanda KekuatanMu,
Guncanglah ketamakan jiwa-jiwa kami yang masih hidup -dengan mengingat kematian,
KenapaYa Allah?!,
au sapu bersih manusia-manusia yang tak berdosa;
Anak-anak kami ; saudara, ibu dan bapak kami, tergeletak membusuk diantara puing-puing,
sedang kau biarkan rumah si korup tak terjamah; berdiri megah dan kokohnya !",
"Dimana tempat tinggal sejati kami Ya Rabb , dimana taman yang indah itu ,
bebaskan jiwa kami dari belenggu dunia, karena kami telah rindu untuk segera memasukinya!"

"Kamilah anak-anak kebahagiaan dan juga anak-anak penderitaan,
Kami kumpulkan harta benda ; kami bangun istana-istana yang luas, padahal dilubang gelap 2x3 meter kelak kami akan kembali,
Kami kenakan baju-baju mewah, menghiasi kepala kami dengan mahkota-mahkota indah,
kelak rumput akan tumbuh subur diatas tengkorak-tengkorak kepala kami!",

Ya, Allah ......Kini takdirmu telah tergoreskan, kehendakmu telah kau genapkan,
Maka ampunilah kami Ya Rabb, seumpama ini merupakan sebuah teguran dariMu,

Dari musibah ini , bimbinglah hati kami untuk mengingat serta mendengar segala seruanMu untuk kembali kejalan yang Engkau ridhai,

Kini tlah kami ikhlaskan semuanya, semua tak ada yang abadi, kepunyanMu segala yang ada dilangit dan dibumi,

Teguhkanlah hati kami untuk menghadapi cobaan ini,
Maha suci Engkau Ya Rabb, yang tak pernah binasa
dan berkuasa penuh atas segala takdir.


*****
Hasyuda Abadi

LIMA STANZA TSUNAMI

i
mulus menerimanya
tak sempat menolaknya
pulang ke dasar
bila berakhir dalam tenang
muram mencatat derita
kenangan yang sulit
trauma yang berbunga

ii
pertemuan ini hebat
perkenalan yang mengajar
tenat yang getar
gegar yang mencalar -
damai pantai
melupakan gelombang kecil
yang sering bermain di giginya
menjadi lorong ajaib
sebuah perjalanan
yang teruja

iii
demikian kias alami
dalam kelam lorong cahaya mendorong
makna kemulusan diri
tsunami hanya gelombang kecil
dari seluruh gelombang keagungan-Nya
titiknya di cermin pandang
peristiwa demi peristiwa
menguji alpa

iv
tsunami bukan hanya nama
tapi gelombang ini melebar andatila diri
mengakar ukhuwah

v
tsunami tidak hanya nama
tapi lorong untuk kembali


Ikatan Penulis Sabah,
6 Januari 2005


*****

*************************
Created at 11:22 AM
*************************

Sajak-sajak Wowok Hesti Prabowo

SEPERTI BONEKA

di sini kami seperti boneka, adikku
dibuang pemiliknya dalam apungan sampah
meriuhkan kemacetan sungai

kami mimpi pesta saat laut surut
ikan ikan terkapar menyimpan pesan
tetarian tawa menyepuh lapar
sebelum akhirnya gelombang
memuntahkan jejeritan

di sini kami boneka sakit, adikku
tersampir di kaki masjid

Tangerang, 2004

*****

TSUNAMI DUA

tsunami dua terbungkus di karduskardus
teronggok di bandara persinggahan
angin terus menghitung posko posko
tapi kapal bisu di pertapaan
lunglailah nestapa!

tsunami dua angin menggadai derita
digelontor utangutang lewat benua
meledaknya di kantong koruptor jua!

Tangerang, 2004

*****

LAUT MABUK

masjid itu sendiri berdiri, seperti tugu
mandangi batangan ombak mengoyak
magma mabuk dan tangis mengandung topan
tungkuku belum usai menanak air mata
saat laut datang tibatiba. berlarian ke bukit
mengirim duka. orangorang menjerit"
Aduh, perahu Nuh tak lagi menunggu!"

dan anakanak itu tak tahu mengapa
tak harus menanti ibunya kembali
masjid itu masih sendiri berdiri
menghardik badai pulang ke rumahnya
usai mabuk dalam pesta pembantaian
melempar orangorang ke langit dan
tinggalkan ribuan bangkai di onggokan sampah
"Tanah pecah itu tak pernah kita duga
adalah pintu ke surga," gumam sesuara

sambil mengubur rindu rumah petak
dan pertengkaran yang belum selesai
tibatiba serombongan burung gagak
menggenggam batangbatang luka menyepuh pagi
pekiknya, "Hoi, ini awal indah memabrikkan hati mereka
tatkala Tuhan dengan caranya telah menyucikan Jakarta."

Tangerang, 2004

*****

*************************
Created at 10:55 AM
*************************

UNTUK ANAK ACEH I

Oleh Hasriwal AS

Kaki kecilmu berlari kencang
Tangan kecilmu melawan derasnya gelombang tsunami
Tubuh kecilmu bertarung dengan kokohnya beton-beton yang menghimpitmu

Kini...tak ada tawa dan candamu
tak ada lagi kau bermain di serambi
kau terbaring kaku...
au terbujur senyum, tertidur untuk slamanya

Di tepi pantai...bisanya kau bercengkerama dengan ombak kecil
berlari-lari riang menyusuri pantai pasir
kau tampak bahagia meski bumi rencong tak henti-hentinya
dilanda musibah

Tubuh-tubuh kecil slama ini ditembus ganasnya butir peluru
Kini...kaku terbaring
kaku bertelanjang melawan dinginnya hempasan tsunami

Tak mampu kami menyelamatkan jiwamu
Karena kami juga tak mampu melawan dahsyat tsunami
ami hanya dapat berdo’a dan menangis

Air mata serasa kering sudah
Mengenang kaki kecilmu berlari di pasir pantai
Mengenang tangan kecilmu melawan riak gelombang kecil

Apa daya kami nak, saat melihat tubuh kecilmu melawan dahsyatnya tsunami,
ketika di tengah keceriaanmu bersama kami duduk diserambi
dihempas tsunami

Tapi...percayalah nak, kami tetap mengenang juangmu...
kami tetap mengenang tawa candamu
kau tetap hadir di tengah-tengah kami...

Allah sudah berkehendak
Allah telah memisahkan kita
Tapi kau tetap di hati kami

Selamat tidur anakku...
Selamat jalan anak bangsa

Jakarta, 03 Januari 05

*****

UNTUK ANAK ACEH II

Oleh Hasriwal AS

Cobaan demi cobaan terus menghempas bumi rencong nan kaya
Dari... deru mesin-mesin yang memuntahkan butiran panas
goncangan gempa dahsyatnya deru gelombang tsunami

Tak henti-hentinya derita menyelimuti Serambi Mekkah
Kami nan jauh turut merasakan tangismu, deritamu nak...
Yang kehilangan, ayah, bunda, adik, kakak...

Getirnya isak tangis terasa menyesak dada
Kepahitan dan ketakutan menghimpit dada
Kini kau hidup sebatang kara di tengah kayanya alammu
Kau bertahan dan berjuang hidup melawan tsunami

Mukjijat Allah menyelamatkanmu
Hidupmu pun terombang-ambing
Turut terbawa jasad ayah, bunda, adik, kakak bersama surutnya tsunami

Hutan dan laut sudah tak lagi bersahabat
Mereka marah..., murka..., merenggut jiwa-jiwa yang kau sayangi
Kaki, tangan dan tubuh kecilmu tak dapat melawan amarah dan murka

Kau berdiri di lereng Leuser yang tak lagi rimba
Kau duduk dipantai yang dihempas gelombang
Bertanya dan selalu bertanya...
Kemanakah ayah, bunda, adik, kakakku...

Alamku yang kaya tak dapat menghidupi
Serambi tak lagi dapat menyelimuti

Akankah aku pergi jauh?
Menyusul ayah, bunda, adik, kakakku?

Jakarta, 03 Januari 05 (bps)

*****

*************************
Created at 10:33 AM
*************************

Sajak-sajak Juniarso Ridwan

Airmata Membasahi Bumi Aceh

Tsunami

kita tahu, bencana tak pernah direncanakan,
seperti musuh yang datang tiba-tiba,
tapi sesungguhnya alam telah memberi tanda-tanda;
dan manusia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.

alam telah mempertontonkan keperkasaannya,
bumi yang diinjak bergetar,
tiba-tiba air laut bernyurut:
ikan-ikan menggelepar di hamparan pasir,
daratan seperti mengejar laut,
anak-anak dengan riang berhamburan,
para nelayan bertanya-tanya,apakah laut tengah menyapa?

dalam hitungan menit, laut bergolak,
ombak telah menjelma tembok raksasa,
menderu dengan warna kelabu,
menerjang apa saja yang menghalangi;

Meulaboh, Banda Aceh, Pidie, Sabang, Aceh besar dan
daerah pesisir lainnya porak-poranda dilindas gelombang pasang:
ada yang kehilangan anaknya,
ada yang kehilangan ayahnya,
yang kehilangan ibunya,
ada yang kehilangan saudaranya,
ada yang kehilangan rumahnya,
ada yang kehilangan semuanya.

airmata telah membasahi bumi Aceh.
setelah tiga jam kesunyian menyelinap jalan-jalan berlumpur,kemudian disusul tangisan menghunjam kampung halaman.

1 Januari 2005.

*****

Setelah Laut Itu Murka

pagi yang kuning, minggu menunggu;
sarapan nasi goreng di atas meja,

ayah baca koran di ruang tamu,
ibu membereskan tempat tidur,
si kecil terlena menonton film kartun,
aku lari pagi mengelilingi kampung. teman dan saudaraku
menghirup angin desember,
menyongsong hari panjang di akhir bulan.

burung camar menghias langit,
kehangatan matahari, seperti juga kemarin,

tak ada yang menduga:
getaran tanah menjalar tiba-tiba,
air laut menghantam bagaikan gunung roboh,
merebut kehidupan penuh paksa;

semua sunyi,
semua gelap.

1 Januari 2005

*****

Petani di Pulau Aceh

membalik tanah, mencari gembur nasib,
mengangkat cangkul, mengelus padi,
menabur luka di sepanjang hari;
mengejar masa lalu,
melupakan esok yang temaram,
sambil membasuh kaki di air payau.

setelah suara-suara burung lenyap,
setelah menghitung derita yang lewat,
laut tak memperdengarkan rayuannya;

yang menghadang adalah kegelapan sempurna,
semuanya menjadi sirna.

yang tersisa hanya jejak luka yang membisu,
dalam hembusan angin yang sekejap.

Januari 2005.

*****
Doa Seorang Anak di Tengah Badai Tsunami

Banda Aceh, 26 Desember 2004.

Tuhanku, dalam cemas aku bersimpuh di hadapan-Mu,
saat matahari hangat menyelimuti bumi,
saat keluargaku bersiap menyongsong hari yang cerah,
Kau kirim bencana itu menerpa kampung halamanku.

Kau renggut kebahagiaan dari sisiku,
Kau hilangkan seluruh keluargaku,
Kau musnahkan rumah dan harta ayah-ibuku,
Kau wafatkan teman-teman sepermainanku,
Tuhanku, dalam derita aku bertanya kepada-Mu:
- siapakah yang telah berbuat ingkar kepada-Mu?
- siapakah yang telah berbuat dosa kepada sesamanya?
lalu tiba-tiba Kau kirimkan azab itu.

Tuhanku, dalam kepapaan aku bersujud di hadapan-Mu,
janganlah ujian itu terlalu berat ditanggung makhluk-Mu,
sebab kami insan yang tak berdaya tanpa pertolongan-Mu,
kami insan yang lemah di hadapan keperkasaan-Mu;
Tuhanku, lindungilah aku dari segala bencana ini,
tunjukkan kepadaku jalan yang bisa menyelamatkanku.

Tuhanku, dalam kesendirian ini,
lalu siapakah yang akan menyapaku?
yang akan membimbingku?
yang akan membesarkanku?
yang akan menyekolahkanku?

Tuhanku, adakah orang yang mendengar doaku ini?

2 Januari 2005

*****

*************************
Created at 9:53 AM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

February 2005[x] June 2005[x] July 2005[x] August 2005[x] September 2005[x]